NENEK TUA DI SISI KOTA
KARYA: Muhammad
alifathullah
Kaki kecilnya tak pernah
berhenti melangkah menyusuri liku-liku jalan yang dipenuhi hiruk pikuk
masyarakat kota. Tangan lihainya menjajakan sebuah kue sederhana khas kota
tempat kelahirannya, demi menyambut esok pagi yang lebih baik. Walau usianya
sudah semakin renta, nenek tua itu masih semangat untuk berjualan, ia tak mau
bergantung pada nasib anak cucunya. Ia yakin, ia mampu menghidupi dirinya
sendiri dengan hasil jerih payahnya sendiri.
Senyumnya selalu terukir di
wajahnya yang mulai keriput kepada setiap orang yang ia temui sepanjang jalan.
Rasanya matahari semakin meninggi. Bulir demi bulir keringatnya pun mulai
berjatuhan dari dahinya yang bertatapan langsung dengan sang mentari, menandakan
ion tubuhnya mulai menipis. Terkadang jika ia begitu merasa lelah, ia selalu
sempatkan diri untuk duduk sebentar di pinggir trotoar sambil menengguk
beberapa tetes air mineral yang setidaknya dapat menjadi oase di gurun
tenggorokannya.
Langkahnya kembali terpadu,
mulutnya kembali menyuarakan hal yang sama, berharap seseorang dapat
menghampiridan membeli kue yang sudah ia buat sejak pagi buta itu. teriakannya
pun berbuah manis, seorang gadis kecil bergaun merah menghampiri nenek tua itu
sambil membawa selembar uang lima ribuan. Nada bicaranya yang masih sedikit
cempreng pun berhasil mengukir satu senyuman di bibir kering nenek tua itu.
Detik jam terus berlalu.
Terkadang takdir memang tak searah dengan apa yang kita dambakan. Sore itu,
hujan deras kembali mengguyur kota yang cukup padat penduduk ini.
Kendaraan-kendaraan pribadi yang bertebaran sepanjang jalan pun seakan menambah
riuh suara hujan yang kian deras. Jalanan pun makin licin dan becek, membuat
sang nenek tua itu susah berjalan untuk kembali ke peraduannya.
Petang datang menyambar. Nenek
tua itu masih merenungi nasibnya untuk esok pagi. Kue yang tadi ia jual belum
juga seberapa karena terpotong deras hujan yang mengguyur habis permukaan kota.
belum lagi cadangan kayu bakar untuk kompor tungkunya telah habis, mungkin jika
petang ini tidak hujan, ia akan sempatkan diri menuju hutan yang cukup
belantara untuk mencari batang-batang kayu yang memenuhi sisi hutan. Tapi, kini
ia hanya bisa merenung, berharap keajaiban bisa menjemputnya di sela milyaran manusia
yang ingin juga dijemput oleh sang keajaiban.
Suara lantunan ayat-ayat suci
menjadi penghias malam temaramnya.
Setidaknya rumah bambu yang ia tempati itu akan menjadi lebih hidup karena lantunan ayat Tuhan
itu. “Hanya kepadamulah hamba menyembah
dan hanya kepadamulah hamba memohon pertolongan.” Sebaris do’a yang dapat ku
dengar dari bilik bambu rumah yang mulai rapuh itu.
Begitu kasihan nenek tua itu,
hidup sendiri dalam rumah yang mulai rapuh termakan usia. Kemanakah
anak-anaknya? Apa mereka lupa atas jasa yang telah diberikan sang ibu pada
mereka? Mengapa sang anak tega membiarkan ibunya hidup sebatang kara seperti
itu? Tidakkah ada rasa kasihan di hati mereka? Apakah mereka telah mati, atas
gelimpangan harta yang telah mereka miliki sekarang? Oh, mengapa aku jadi
berfikir seperti ini? Aku tidak pantas berprasangka buruk pada anak nenek tua
itu.
Pagi-pagi sekali ia sudah
keluar dari peristirahatannya. Mencoba sejenak menghirup udara pagi dan mengisi
perutnya dengan beberapa potong kue bekas kemarin. Dengan langkah
kecilnya, ia menuju hutan belantara itu, ditebarnya pandangan ke seluruh sisi
hutan supaya dapat mempercepat pencarian kayu bakar yang akan ia gunakan untuk
memasak kue-kue kecilnya. Senyumnya kembali terukir saat ia melihat hamparan
kayu-kayu kering di tengah hutan itu. Dengan lihai, ia mengumpulkan semua
kayu-kayu itu dan diikatnya dengan kuat. Walau badannya mulai rapuh, ia masih
mampu membopong kayu-kayu itu, setidaknya sampai tepat di samping rumah
bambunya. Karena disitulah ia mulai membuat kue kecilnya yang dulu ia pelajari
dari sang ibu.
Waktu masih berlalu. Matahari
pun mulai menyorotkan sinarnya hingga ke ujung bumi pertiwi. Hari ini ia
sedikit terlambat untuk memulai aksinya. Hujan di sore itu memang sedikit
membuatnya merugi, tapi apa yang bisa ia perbuat? itu sudah ketetapan Tuhan
untuk mengatur segala sesuatu yang akan terjadi di alam semesta ini.
Kembali berteman dengan
debu-debu. Kembali ke jalan megah metropolitan. Mungkin ia hanya sebagian kecil
dari metropolitan ini, tapi setidaknya ia ikut meramaikan perjalanan kota.
Sudah bertahun-tahun ia mencoba menjemput pundi-pundi rupiah di tempat ini.
Walau ia tahu, makanan modern lebih diminati masyarakat kota, tapi mimpinya
mungkin nyata, setidaknya masih ada yang setia dengan makanan tradisional
seperti apa yang ia jajakan.
Aku tersenyum melihat nenek tua
itu begitu bersemangat menjajakan dangannya di sisi jalan ibukota ini. Usia
boleh saja tua, tapi semangatnya seakan tak pernah tua. Aku tau, ia begitu
lelah tapi ia tetap mampu membentangkan senyum di kedua bibir mungilnya.
Aku pun terheran, mengapa anak
muda jaman sekarang lebih memilih untuk ngganggur daripada mencari pekerjaan,
walau kerjaan itu dianggap remeh oleh sebagian orang. Apa mereka gengsi? jika
setidaknya mereka menjual koran-koran ataupun sekedar menjual minuman pelepas
dahaga di sisi-sisi jalan. Usia anak muda pasti belum mencapai kepala 3, tapi
mengapa semangatnya sudah seperti kakek renta yang dengan pasrah dititipi di
panti jompo? Aku tidak habis fikir.
Kembali ke nenek tua itu. hari
ini ia cukup beruntung, karena ia pulang sambil membawa keranjang jualannya
saja. Ya! semua kue nya laku terjual. Hujan tak lagi menjadi penghalang pundi
rupiahnya.
Ia kembali terduduk di atas
sajadah tua kenang-kenangan dari ayahanda tercintanya. Sajadah tua itu selalu
menemani sang nenek untuk mengadu kepada Tuhan. Tapi bukan aduan lagi yang kini
ia dengar dari mulut nenek tua itu, tapi ucapan syukur yang tak henti-hentinya
keluar. Sang nenek berkali-kali sujud syukur atas peruntungannya hari ini.
Ditemani lampu temaram yang sekiranya cukup untuk menerangi tubuh dan sajadah
tua nya.
Pagi
kembali menjemput kembali berteman dengan debu-debu, kembali ke jalan megah
metropolitan, membanting tulang yang kian rapuh, demi 1 rupiah yang ia tunggu. Nek
semoga langkah mu tetap tegar walau tk lagi tegap, semoga semangat muda mu
tetap bersinar walau langit merasa meradang, semoga mimpi-mimpi mu kan selalu
hidup walu sebagai bunga malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar